f Liliez Punya Blog
Selasa, 25 Oktober 2011

Tangisan Lalu


    Kuayunkan langkah kakiku menuju kamar yang bisu. Anganku melayang menerawang setiap sudut kamar yang retak dimakan waktu. Kurebahkan semua pilu di pundakku di atas kasur buatan nenek. Mata ini berkeliaran mencari sandaran tuk sesaat membuang lelah kehidupan.
    Akutelah renta dimakan usia. Aku ingin membalikkan hidupku. Kuingin menari diatas senyum mengembang mamah, yang melihat anaknya bisa melangkah satu demi satu. Kuingin menangis di pundak Ayah bila kuterluka.
Diary ungu dan suara batuk nenek menjadi sahabat setiap waktu. Kuingin bertemu ayah, tenggelam dalam dekapnya hingga tak kusadari air mata berlinang membasahi pipi, jika kupandang potret keutuhan keluarga yang begitu bahagia, namun kini tinggal cerita.
      “Nenek kuingin ayah” Dengan linangan air mata kumerengek di hadapan nenek, namun nenek hanya menggendongku dan memberiku snack jali-jali agar kudiam.
Bertahun-tahun kupendam rasa ini, rindu yang tak bermuara.
Lagi-lagi kurebahkan pilu di pundak ini. Kali ini aku teringat cerita ayah. Kucoba rangkai ingatan menjadi untaian-untaian masa lalu yang buram.
   Di pagi yang basah, ayah keluar rumah dengan semangat menuju tempat mencari nafkah, ditemani ibu yang berparas sederhana keluar dari beranda rumah.
Ketika itu usiaku baru menginjak dua tahun.
Aku belum mengerti apapun yang terjadi padaku dan lingkunganku. Ketika ayah melangkah jauh meninggalkan rumah, ibu masuk menemuiku yang asik bermain dengan bola-bola dan ular-ularan. Tiba-tiba ibu menggendongku dan membawaku pergi dari rumah, ku tak tahu ibu menuju kemana. Hingga sampai di suatu tempat, ibu menurunkanku dan menyerahkanku pada seorang ibu tua dan berparas ayu.
Aku menangis menjerit dan meronta namun ibu berlalu begitu saja meninggalkanku bersama ibu tua itu.
   Ayah tak tahu tindakan ibu yang tak pernah menganggapku ada. Ibu selalu manis dihadapan ayah. Hampir setiap waktu ibu memperlakukanku dengan kasar saat ayah tak  disisiku. Aku tak mengerti dan tak tahu ibu pergi kemana, saat kudititipkan dirumah tetangga.
Durian seakan runtuh di hadapan ibu, pelangi menari di matanya. Ibu bagai kucing yang ditinggal oleh majikan, seenaknya melakukan apa saja tanpa takut ada yang tahu. 
Di suatu sore yang cerah ayah pamit kapada ibu, ayah akan pergi menggalkanku dan ibu untuk beberapa waktu. Ayah mendapat tanggung jawab dan kewajiban dari atasannya di luar kota.
   Ayah berlalu dengan kecupan yang mendarat di keningku, kumeronta memenggil ayah, “ Ayah ikut…..” kataku, karena aku tak mau tinggal bersama ibu. Numun langkah ayah terus melaju.
Sesaat dari kepergiaan ayah, ibu pun beraksi kebali memperlakukanku seperti biasa, membawaku dan menitipkanku di rumah tetangga. 
Setengah jam dari kepergian ayah, ibu telah pergi entah kemana dan meninggalkanku.
Tanpa disangka, ada sesuatu yang lupa ayah bawa dan itu sangat penting tuk tugas ayah, ayah pun kembali pulang dan mengambilnya.
Sesampai di rumah, ayah tak manamukan siapa pun, hanya kebisuan yang ia jumpai. Seusai mambuka pintu dengan duplikat yang ia bawa, ayah mengambil keperluannya.
    “kemana semua orang? Mengapa sunyi?
Karena waktu yang memburunya, ayah berlalu dengan gesitnya menuju beranda rumah dan berjalan menuju kaendaraannya. Namun samara-samar ayah mendengar rontaanku yang terus menghiasi rumah ibu tua itu.
     “Sepertinya kukenal tangisan itu…”
Ayah mencari di mana asal suara rontaan itu. Kuberlari dan kudekap ayah erat-erat tak mau lagi berpisah dengannya. Jiwaku mati saat itu, masa kecilku lari, kutak pernah tersenyaum dengan ikhlasnya. Hari-hariku meronta tanpa ada yang mengasihaniku, ibu  menyia-nyiakanku bagai benalu yang tumbuh diatas senyumnya.
Ayah beranjak dari dekapku, kuterus maronta dengan tersirat makna di dalamnya..
Ayah membisu sesaat, kemudian bertanya kepada ibu tua itu.
     “Apa yang terjadi, Mana istriku?”
Ibu tua itu bimbang dan tetap bungkam. Ia hanya mengatakan bahwa ibu pergi ke pasar tuk membeli sesuatu dan menitipkanku.  
Ayah mengerutkan kening dan berpikir, 
    “Mengapa setega ini istriku meninggalkan anaku, tak seperti biasanya selalu mambawanya jika hendak berbelanja, sepertinya ada yang tidak beres.”
Melihat keadaanku yang semakin terpuruk dan tak pernah henti dari rontaan, ayah memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaannya dan memohon izin kepada atasannya.
Dengan hati yang kecewa ayah melangkah menuju rumah, aku mulai tenang dan berhenti dari rontaanku. Walau usiaku masih belia namun kudapat merasakan kasih sayang ayah yang mengalir di lembar hidupku. 
Ayah adalah malaikat pelindungku. Ayah tak pernah marah padaku. Ia sosok yang tegar dan berhati mulia. 
    Tepat pukul 22.00, ayah belum tertidur juga. Sementara aku pulas dalam belaian ayah dan lelap dalam tidurku.
Ayah berfikir “Mengapa sampai detik ini pun istriku belum juga pulang?” tidak mungkin jika ia pergi berbelanja ke pasar.”
Suara percakapan di halaman rumah membangunkan ayah dari lamunannya. Ia meletakkanku di atas kasur dan beranjak melihat siapa gerangan yang berada di sana.
Betapa terkejutnya ayah melihat ibu bersama lelaki lain yang sama sekali tak dikenalinya.
   Ibu masuk dalam rumah tersentak ia kaget melihat ayah tegak berdiri di depan pintu ruang tengah. Wajah ibu memerah dan gugup, ibu tak sanggup mengeluarkan kata walau hanya menyapa. 
Dengan halusnya ayah bertanya.
    “Siapa lelaki itu?”
    “Bukan siapa-siapa.”
Alunan kata ayah menghiasi goa telinga ibu, ibu bungkam dan tak berkutik. Ayah berfikir dengan sikapnya mungkin akan mengubah kebiasaan ibu yang masih ingin berkeliaran seperti remaja yang baru mengenal cinta. 
   Pagi yang gelap, tak ada cahaya menembus cela-cela ventilasi jendela kamarku. Hari seakan mengerti keadaan keluarga yang berada di ujung tanduk. Entah suka atau pun duka yang seharusnya mengalun dari wajah kecil dan tak tahu apa-apa.   
    Ibu tak kulihat sejak kumembuka mata menyambut pagi yang gelap. Hanya kulihat ayah yang datang mendekapku dengan teka-teki di wajahnya yang tak dapat kutebak
Kutak mengerti apa yang terjadi, aku hanya melihat ayah dengan mata yang sembab mencoba menahan kesedihan di hadapanku. Ayah tak ingin terlihat rapuh di hadapanku.

Praaaaaaaaakkk…!!! Kramik di atas lemariku jatuh, membuatku kaget dan beranjak dari ingatan itu. Sampai saat ini aku tak mengerti apa sebenarnya  yang terjadi pada ayah dan ibu. Mengapa aku tinggal bersama nenek hingga saat ini?
Aku kini telah dewasa, semestinya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Menurut cerita nenek ibu pergi meninggalkan rumah saat ayah dan aku terlelap dalam tidur. Ibu meninggalkan kami tanpa pamit, bersama lelaki yang tak pernah dikenal ayah. Ibu begitu tega melakukan ini pada kami. Semua itu ibu lakukan kepadaku karena aku bukan anak kandungnya.
   “Di mana ibu kandungku?"
   Hari seakan layu melihat ayah  mencoba bernyanyi di atas nestapa yang ibu cipta.
Pandangan ayah goyah menabrak karang kepedihan di hari yang semestinya bermentari. Ayah berlayar di atas laut air mata, dinaungi pohon-pohon duka.
Di pagi yang diiringi rerintikan gerimis, kembali mengalir air mataku berserakan di wajah yang mengharap ini tak pernah terjadi. Alunan do’a mengalir dari rongga suara nenek. Air mata tak sanggup kubendung menetes membahasi batu nisan ayah yang selalu kupeluk di setiap lembaran waktuku.
Akan selalu kualunkan ayat-ayat suci mengiringi langkah ayah dalam setiap sujud malamku.

»»  Baca selanjutnya...
Kamis, 20 Oktober 2011

Sayang Kamu...


Aku terinspirasi oleh seorang wanita yang kuliat di internet. Dia begitu bangga memiliki kekasih yang sangat ia cintai,, ia selalu memposting tulisan-tulisan tentang kekasihnya. Hmmmm.... mungkin parasaanya sama denganku pada kamu jelek (panggilan sayang),,, selalu ingin tau tentang kamu dan hari-harimu.
Di pikiranku selalu terlintas wajah dan semua tentang kamu... Meski banyak hal yang harus kulakukan dan kupikirkan, namun kusempatkan memikirkan tentangmu, sebab aku tak bisa jauh dengan kisahmu, selalu kamu di hatiku, berharap kamu yang akan temani aku selamanya jelek....(Agus Swantoro)
Aku sayang sabar kamu, aku sayang marah kamu, aku sayang diam kamu, aku sayang semua tentang kamu. Namun ada hal yang tidak ku sayang tentang kamu, yakni di saat kamu cuekin dan ga peduliin sms ku, sakit yah hatiku, tapi ku coba mengerti tentang kamu yang tidak hoby Smsan, namun apakah salah jika aku berharap banyak sama kamu, kamu perhatikan aku, kamu selalu ingat aku,
hmmmm... kamu sayang ma aku, aku dah bersyukur,,,
Tetaplah di hatiku, dan tetaplah menjadi orang yang kusayang....


LUPH KAMU JELEK,,, SELAMANYA....

Prasaan yang tulus kutanamkan untukmu seorang. Barkan kisah ini mengalir dalam sungai hidup kita berdua. Aku selalu ingin berada di dekatmu, walau itu sulit... Kusempatkan memikirkan kamu Jelek...
Berharap kamu seperti aku,,, meski lebay sepertinya, namun ini tulus tanpa sedikit pun paksaan...
Aku sayang kamu...
Jelek...
»»  Baca selanjutnya...
Sabtu, 15 Oktober 2011

Hingga Akhir Waktu


Rintik hujan kembali menetes di hari ke lima minggu ke tiga di bulan Juni 2010. Alunan suara angin yang bernyanyi menyapu wajahku, kini tak hadir lagi. Bintang yang menari, bernyanyi memuji indah malam kini tak hadir lagi. Sinar rembulan yang sumringah menyambut malam,  kini terkulum di gumpalan awan yang hitam.
Seperti biasa, mala mini kulalui dengan kesedihan yang belum juga luntur di wajahku. Hati ini seakan mati, tidak dapat bernyanyi walau hanya sesaat. Hari-hari kulalui tanpa orang yang berarti, semua mati ditelan bumi. Kebahagiaanku sirna, terbawa olehnya kekasih hati yang kini berada di sisi-Nya. Sungguh tak bisa kumusnahkan semua kepahitan yang melandaku.
Pagi-pagi buta, kubangun dari mimpi buruk yang selalu menghantuiku di setiap malamku. Aku tak tahan lagi, ingin kutumpahkan seluruh kesedihan yang sekarang bersarang di jiwaku. Aku melangkah meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan mama. Aku hanya ingin bertemu sahabatku. Menumpahkan segala kepedihanku dan berharap semua cepat berlalu. Dalam perjalananku menuju kediaman Boni sahabatku, ingatan itu selalu menghampiri dan mengiringi langkahku. Aku tak bisa terpuruk seperti ini selamanya. Wajahnya yang selalu kurindukan menari di kelopak mataku, kenangan yang selalu kita buat hadir bagai pepohonan yang menaungiku.
“Tidaak…!!!, Tuhan tolonglah hambamu”

Setelah sampai di halama rumah Boni. Aku bergegas menuju pintu rumahnya, lama aku tidak berjumpa dengannya. Karena keterpurukan sehingga aku tak pernah lagi mengunjunginya. Kuketuk pintu rumah Boni, berharap ia yang membukakan pintu. Lima menit berdiri menunggu pintu rumah Boni terbuka, dan akhirnya sosok yang begitu ingin kutemui kini ada di hadapanku. Wajah cantik dan manis seperti yang dulu, ramah dan lucu. Kupeluk Boni erat-erat tanpa kuziinkan angin lewat di sela kami. Air mata ini tak dapat terbendung lagi.
“Boni, Aku nggak bisa begini terus, aku tersiksa. Aku ngga bisa hidup tanpa dia di sisiku.”
“Masuklah dulu, kita bicarakan di dalam.”
Kupandangi sekeliling rumah Boni yang lama tak kukunjungi. Mataku terpana pada sebuah album yang tersimpan begitu rapi di lemari ruang tengah. Boni beranjak mengambilkan aku segelas air putih untuk menenangkan fikiranku. Kuangkat, kubuka album ungu yang bertuliskan “lovely” halaman pertama terpampang wajah imut Boni dan senyum riangku di sana. Aku tersenyum, putih abu-abu menghiasi pakaian yang kita kenakan. Kubuka lembar berikutnya, tersentak aku kaget. Wajahnya ada di sana, di antara aku dan Boni serta teman yang lain. Kembali mengalir air mata ini melihat wajah kekasihku yang telah pergi.
“Cha, ngapain kamu?” Boni menegurku.
Kusapu air mata ini, tetapi Boni lebih awal melihat lagi air mataku.
“Cha, ceritakan…? Apa sebenarnya yang terjadi. Mengapa kamu menangis?”
“Hal inilah yang menjadi tujuanku datang kemari Boni, aku tak tahu ke mana harus mengadu, hanya kamu yang mengerti aku, Bon…”
Kudekap foto yang terlukis wajahnya, kubiarkan kepedihan ini mengalir bersama air mataku.
“Ceritakanlah! Apa sebenarnya yang terjadi denganmu” mengapa kamu dekap terus foto itu? Misteri apa yang ada di dalamnya?”

***
Kuawali ceritaku denga sebuah perkataan Fhy kekasihku yang masih sempat kuingat.
“Kau begitu indah, bagai taman yag sesaat lagi akan kutemui. Aku tak ingin ini terjadi, tapi inilah suratan Ilahi.”
Saat ia katakan itu, aku berada di sebuah pantai bersamanya. Kami pergi ke pantai karena keinginanku. Aku pun tak mengerti mengapa jiwaku seakan meronta untuk mengatakan ini pada Fhy. Ia tak ingin melihatku kecewa. Akhirnya kami pun pergi dengan suasana damai menaungi jiwa-jiwa kami.
Angin yang bertiup menyapu bibir pantai. Mengundangku mendekatinya. Kulangkahkan kaki ini perlahan, kutatap wajah langit yang begitu damai kurasakan. Fhy menyusulku dan tegak di sampingku.
“Rasakan dingin yang bertiup ini!” ia memintaku mematuhi kemauannya. Perlahan kurasakan kedamaian yang dibawa angin menuju dermaga. Tapi, kudengar Fhy merintih perlahan.
“Fhy, mengapa? Sakit??”
Jawabannya singkat dan dingin “Tidak!”

***
Tiba-tiba Boni tersedak dan batuk, aku berpikir mengapa mendengar ceritaku ia begitu…
“Boni, kamu mengapa?”
“Oh, tidak lanjutkan dulu biar aku mendengarkannya”.
Petikan gitar yang dimainkan Fhy membuatku semakin damai, kami bernyanyi tanpa sedikit pun tersirat kesedihan di wajah aku dan Fhy. Kupandangi dalam-dalam wajah Fhy, dengan senyuman yang tak pernah terkulum waktu.
Dia begitu bahagia, tak ingin aku melihat  ini hilang dari wajah Fhy. Ya, karena memang dia sosok lelaku yang begitu jarang menampakkan kebahagiaannya. Dia pendiam, namun begitu perhatian. Tanpa disangka hujan turun, menggantikan siang yang begitu cerah. Aku dan Fhy berteduh di sebuah gubug-gubug di pinggir pantai yang sengaja dibuat untuk disewakan. Hujan begitu deras, hingga terpaksa aku dan Fhy menunggu lama di gubug itu. Kulihat pucat wajah Fhy, aku panik.
“Fhy, kamu sakit ya? Mengapa wajahmu pucat???”
“Tidak, hanya dingin saja kok”.
Dia tak pernah mau menceritakan apa yang sebenarnya yang ia rasakan. Aku memberikan sweterku untuk menutup tubuhnya yang menggigil kedinginan. Perlahan ia merebahkan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya di pangkuanku.
“Cha, Kau begitu indah, bagai taman yag sesaat lagi akan kutemui. Aku tak ingin ini terjadi, tapi inilah suratan ilahi.”
“Apa maksudmu?” Aku bingung mengapa dia menyamakan aku dengan taman? Fhy memintaku menyampaikan sebuah lagu yang sangat ia sukai. Aku melihat permohonan di wajah Fhy. Akhirnya aku bernyanyi. Lahu sempurna.
“Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku lengkapi diriku, oh sayangku
Kau begitu..
Sempurna…”
Kulihat Fhy terlelap dalam tidurnya. Aku tak tega untuk membangunkan dirinya dari tidurnya. Keputusan untuk menunggu Fhy bangun sembari menunggu hujan reda. Sepuluh menit berlalu, hujan sudah tak jatuh lagi. Awan kembali tampak, namun tak secerah semula. Perlahan kubangunkan Fhy dari tidurnya namun ia tetap diam dan tidak bergerak. Badannya dingin dan beku. Kupanggil-panggil namanya, kucoba bangunkan dia dengan segenap usahaku namun ia tetap beku.
“Tuhan… inikah akhir dari segalanya? Fhy telah pergi tanpa sebab yang pasti. Fhy, jangan tinggalkan aku, ke mana janjimu untuk kita hidup bersama? Fhy bangun, bangun Fhy…!”…
Aku meronta, aku tak percaya. Mengapa Fhy pergi begitu cepat? Mengapa ia pergi di saat seperti ini? Semua pertanyaan menghukumku.


***
Kudekap Boni, dengan segala kelemahanku. Aku begitu lemah, sudah dua bulan berlalu dari kepergian Fhy, namun aku masih terpuruk di dalamnya.
“Cha, udahlah…”
“Boni, aku tak mengerti mengapa Fhy perg tanpa sebab yang pasti, mengapa dia pergi tiba-tiba?”
“Ada hal yang tidak engkau tahu”.
“Katakan, apa itu Bon??”
“sebelumnya maaf Cha, karena tidak dari awal aku mengatakan ini padamu. Fhy sebenarnya telah lama mengidap penyakit kanker otak.”
“Apa!!! Kau tega Bon, mengapa tidak kauceritakan padaku dari dulu padaku?”
“Sabar Cha, ini permintaan Fhy. Ia tak ingin kautahu tentang keadaannya. Ia tidak ingin kau sedih mendengar ceritanya. Ia tak ingin merusak kebahagiaanmu Cha… ia menitipkan ini padaku. Sebuah cincin yang telah lama ia ingin berikan padamu, tetapi ia ragu. Ia memintaku memberikan ini padamu setelah ia pergi. Karena ia tahu, waktunya tidak akan lama lagi di dunia ini.”
Hatiku hancur kembali. Aku pamit pada Boni, pergi menuju makam Fhy yang selalu kukunjungi. Dengan sebuah cincin yang selalu kugenggam, mengantarkan aku di sebuah pemakaman yang sudah tidak begitu asing. Aku berlutut di batu nisan dengan kepedihan yang sangat berat kurasakan. Air mata ini tak boleh jatuh, “Aku tak mau menampakkan ini di hadapanmu Fhy. Meski engkau telah pergi namun engkau selalu di hatiku.”
Kupakai cincin pemberian Fhy di jari manisku.
“Fhy, nantikan aku di sana. Aku psati akan bersamamu, meski sekarang kita berada di alam yang berbeda.”
Aku beranjak dari makam Fhy dengan sangat berat. Namun aku harus tegar menjalani semua ini. Perjalanan pulang, tak kurasakan apa-apa. Pikiranku terbang bersama kenangan dan bayangan Fhy yang selalu menghantui. Pandanganku berubah, aku memandang dengan samar-samar dengan motor yang kukendarai. Semakin lama aku merasa ada suara yang memanggilku dan,
Braakk…!!! Sebuah mobil menabrak motorku.
Aku tak sadarkan diri, tetapi aku melihat kehadiran Fhy di hadapanku. Dia ulurkan tangan kanannya padaku. Kuterima uluran tangan Fhy dan kugenggam erat.
“Fhy, bawa aku bersamamu.”


Perintis, 26 Juni 2010


»»  Baca selanjutnya...

Tangisan Lalu

| 0 komentar |


    Kuayunkan langkah kakiku menuju kamar yang bisu. Anganku melayang menerawang setiap sudut kamar yang retak dimakan waktu. Kurebahkan semua pilu di pundakku di atas kasur buatan nenek. Mata ini berkeliaran mencari sandaran tuk sesaat membuang lelah kehidupan.
    Akutelah renta dimakan usia. Aku ingin membalikkan hidupku. Kuingin menari diatas senyum mengembang mamah, yang melihat anaknya bisa melangkah satu demi satu. Kuingin menangis di pundak Ayah bila kuterluka.
Diary ungu dan suara batuk nenek menjadi sahabat setiap waktu. Kuingin bertemu ayah, tenggelam dalam dekapnya hingga tak kusadari air mata berlinang membasahi pipi, jika kupandang potret keutuhan keluarga yang begitu bahagia, namun kini tinggal cerita.
      “Nenek kuingin ayah” Dengan linangan air mata kumerengek di hadapan nenek, namun nenek hanya menggendongku dan memberiku snack jali-jali agar kudiam.
Bertahun-tahun kupendam rasa ini, rindu yang tak bermuara.
Lagi-lagi kurebahkan pilu di pundak ini. Kali ini aku teringat cerita ayah. Kucoba rangkai ingatan menjadi untaian-untaian masa lalu yang buram.
   Di pagi yang basah, ayah keluar rumah dengan semangat menuju tempat mencari nafkah, ditemani ibu yang berparas sederhana keluar dari beranda rumah.
Ketika itu usiaku baru menginjak dua tahun.
Aku belum mengerti apapun yang terjadi padaku dan lingkunganku. Ketika ayah melangkah jauh meninggalkan rumah, ibu masuk menemuiku yang asik bermain dengan bola-bola dan ular-ularan. Tiba-tiba ibu menggendongku dan membawaku pergi dari rumah, ku tak tahu ibu menuju kemana. Hingga sampai di suatu tempat, ibu menurunkanku dan menyerahkanku pada seorang ibu tua dan berparas ayu.
Aku menangis menjerit dan meronta namun ibu berlalu begitu saja meninggalkanku bersama ibu tua itu.
   Ayah tak tahu tindakan ibu yang tak pernah menganggapku ada. Ibu selalu manis dihadapan ayah. Hampir setiap waktu ibu memperlakukanku dengan kasar saat ayah tak  disisiku. Aku tak mengerti dan tak tahu ibu pergi kemana, saat kudititipkan dirumah tetangga.
Durian seakan runtuh di hadapan ibu, pelangi menari di matanya. Ibu bagai kucing yang ditinggal oleh majikan, seenaknya melakukan apa saja tanpa takut ada yang tahu. 
Di suatu sore yang cerah ayah pamit kapada ibu, ayah akan pergi menggalkanku dan ibu untuk beberapa waktu. Ayah mendapat tanggung jawab dan kewajiban dari atasannya di luar kota.
   Ayah berlalu dengan kecupan yang mendarat di keningku, kumeronta memenggil ayah, “ Ayah ikut…..” kataku, karena aku tak mau tinggal bersama ibu. Numun langkah ayah terus melaju.
Sesaat dari kepergiaan ayah, ibu pun beraksi kebali memperlakukanku seperti biasa, membawaku dan menitipkanku di rumah tetangga. 
Setengah jam dari kepergian ayah, ibu telah pergi entah kemana dan meninggalkanku.
Tanpa disangka, ada sesuatu yang lupa ayah bawa dan itu sangat penting tuk tugas ayah, ayah pun kembali pulang dan mengambilnya.
Sesampai di rumah, ayah tak manamukan siapa pun, hanya kebisuan yang ia jumpai. Seusai mambuka pintu dengan duplikat yang ia bawa, ayah mengambil keperluannya.
    “kemana semua orang? Mengapa sunyi?
Karena waktu yang memburunya, ayah berlalu dengan gesitnya menuju beranda rumah dan berjalan menuju kaendaraannya. Namun samara-samar ayah mendengar rontaanku yang terus menghiasi rumah ibu tua itu.
     “Sepertinya kukenal tangisan itu…”
Ayah mencari di mana asal suara rontaan itu. Kuberlari dan kudekap ayah erat-erat tak mau lagi berpisah dengannya. Jiwaku mati saat itu, masa kecilku lari, kutak pernah tersenyaum dengan ikhlasnya. Hari-hariku meronta tanpa ada yang mengasihaniku, ibu  menyia-nyiakanku bagai benalu yang tumbuh diatas senyumnya.
Ayah beranjak dari dekapku, kuterus maronta dengan tersirat makna di dalamnya..
Ayah membisu sesaat, kemudian bertanya kepada ibu tua itu.
     “Apa yang terjadi, Mana istriku?”
Ibu tua itu bimbang dan tetap bungkam. Ia hanya mengatakan bahwa ibu pergi ke pasar tuk membeli sesuatu dan menitipkanku.  
Ayah mengerutkan kening dan berpikir, 
    “Mengapa setega ini istriku meninggalkan anaku, tak seperti biasanya selalu mambawanya jika hendak berbelanja, sepertinya ada yang tidak beres.”
Melihat keadaanku yang semakin terpuruk dan tak pernah henti dari rontaan, ayah memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaannya dan memohon izin kepada atasannya.
Dengan hati yang kecewa ayah melangkah menuju rumah, aku mulai tenang dan berhenti dari rontaanku. Walau usiaku masih belia namun kudapat merasakan kasih sayang ayah yang mengalir di lembar hidupku. 
Ayah adalah malaikat pelindungku. Ayah tak pernah marah padaku. Ia sosok yang tegar dan berhati mulia. 
    Tepat pukul 22.00, ayah belum tertidur juga. Sementara aku pulas dalam belaian ayah dan lelap dalam tidurku.
Ayah berfikir “Mengapa sampai detik ini pun istriku belum juga pulang?” tidak mungkin jika ia pergi berbelanja ke pasar.”
Suara percakapan di halaman rumah membangunkan ayah dari lamunannya. Ia meletakkanku di atas kasur dan beranjak melihat siapa gerangan yang berada di sana.
Betapa terkejutnya ayah melihat ibu bersama lelaki lain yang sama sekali tak dikenalinya.
   Ibu masuk dalam rumah tersentak ia kaget melihat ayah tegak berdiri di depan pintu ruang tengah. Wajah ibu memerah dan gugup, ibu tak sanggup mengeluarkan kata walau hanya menyapa. 
Dengan halusnya ayah bertanya.
    “Siapa lelaki itu?”
    “Bukan siapa-siapa.”
Alunan kata ayah menghiasi goa telinga ibu, ibu bungkam dan tak berkutik. Ayah berfikir dengan sikapnya mungkin akan mengubah kebiasaan ibu yang masih ingin berkeliaran seperti remaja yang baru mengenal cinta. 
   Pagi yang gelap, tak ada cahaya menembus cela-cela ventilasi jendela kamarku. Hari seakan mengerti keadaan keluarga yang berada di ujung tanduk. Entah suka atau pun duka yang seharusnya mengalun dari wajah kecil dan tak tahu apa-apa.   
    Ibu tak kulihat sejak kumembuka mata menyambut pagi yang gelap. Hanya kulihat ayah yang datang mendekapku dengan teka-teki di wajahnya yang tak dapat kutebak
Kutak mengerti apa yang terjadi, aku hanya melihat ayah dengan mata yang sembab mencoba menahan kesedihan di hadapanku. Ayah tak ingin terlihat rapuh di hadapanku.

Praaaaaaaaakkk…!!! Kramik di atas lemariku jatuh, membuatku kaget dan beranjak dari ingatan itu. Sampai saat ini aku tak mengerti apa sebenarnya  yang terjadi pada ayah dan ibu. Mengapa aku tinggal bersama nenek hingga saat ini?
Aku kini telah dewasa, semestinya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Menurut cerita nenek ibu pergi meninggalkan rumah saat ayah dan aku terlelap dalam tidur. Ibu meninggalkan kami tanpa pamit, bersama lelaki yang tak pernah dikenal ayah. Ibu begitu tega melakukan ini pada kami. Semua itu ibu lakukan kepadaku karena aku bukan anak kandungnya.
   “Di mana ibu kandungku?"
   Hari seakan layu melihat ayah  mencoba bernyanyi di atas nestapa yang ibu cipta.
Pandangan ayah goyah menabrak karang kepedihan di hari yang semestinya bermentari. Ayah berlayar di atas laut air mata, dinaungi pohon-pohon duka.
Di pagi yang diiringi rerintikan gerimis, kembali mengalir air mataku berserakan di wajah yang mengharap ini tak pernah terjadi. Alunan do’a mengalir dari rongga suara nenek. Air mata tak sanggup kubendung menetes membahasi batu nisan ayah yang selalu kupeluk di setiap lembaran waktuku.
Akan selalu kualunkan ayat-ayat suci mengiringi langkah ayah dalam setiap sujud malamku.

LEER M�S...

Sayang Kamu...

| 0 komentar |


Aku terinspirasi oleh seorang wanita yang kuliat di internet. Dia begitu bangga memiliki kekasih yang sangat ia cintai,, ia selalu memposting tulisan-tulisan tentang kekasihnya. Hmmmm.... mungkin parasaanya sama denganku pada kamu jelek (panggilan sayang),,, selalu ingin tau tentang kamu dan hari-harimu.
Di pikiranku selalu terlintas wajah dan semua tentang kamu... Meski banyak hal yang harus kulakukan dan kupikirkan, namun kusempatkan memikirkan tentangmu, sebab aku tak bisa jauh dengan kisahmu, selalu kamu di hatiku, berharap kamu yang akan temani aku selamanya jelek....(Agus Swantoro)
Aku sayang sabar kamu, aku sayang marah kamu, aku sayang diam kamu, aku sayang semua tentang kamu. Namun ada hal yang tidak ku sayang tentang kamu, yakni di saat kamu cuekin dan ga peduliin sms ku, sakit yah hatiku, tapi ku coba mengerti tentang kamu yang tidak hoby Smsan, namun apakah salah jika aku berharap banyak sama kamu, kamu perhatikan aku, kamu selalu ingat aku,
hmmmm... kamu sayang ma aku, aku dah bersyukur,,,
Tetaplah di hatiku, dan tetaplah menjadi orang yang kusayang....


LUPH KAMU JELEK,,, SELAMANYA....

Prasaan yang tulus kutanamkan untukmu seorang. Barkan kisah ini mengalir dalam sungai hidup kita berdua. Aku selalu ingin berada di dekatmu, walau itu sulit... Kusempatkan memikirkan kamu Jelek...
Berharap kamu seperti aku,,, meski lebay sepertinya, namun ini tulus tanpa sedikit pun paksaan...
Aku sayang kamu...
Jelek...

LEER M�S...

Hingga Akhir Waktu

| 0 komentar |


Rintik hujan kembali menetes di hari ke lima minggu ke tiga di bulan Juni 2010. Alunan suara angin yang bernyanyi menyapu wajahku, kini tak hadir lagi. Bintang yang menari, bernyanyi memuji indah malam kini tak hadir lagi. Sinar rembulan yang sumringah menyambut malam,  kini terkulum di gumpalan awan yang hitam.
Seperti biasa, mala mini kulalui dengan kesedihan yang belum juga luntur di wajahku. Hati ini seakan mati, tidak dapat bernyanyi walau hanya sesaat. Hari-hari kulalui tanpa orang yang berarti, semua mati ditelan bumi. Kebahagiaanku sirna, terbawa olehnya kekasih hati yang kini berada di sisi-Nya. Sungguh tak bisa kumusnahkan semua kepahitan yang melandaku.
Pagi-pagi buta, kubangun dari mimpi buruk yang selalu menghantuiku di setiap malamku. Aku tak tahan lagi, ingin kutumpahkan seluruh kesedihan yang sekarang bersarang di jiwaku. Aku melangkah meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan mama. Aku hanya ingin bertemu sahabatku. Menumpahkan segala kepedihanku dan berharap semua cepat berlalu. Dalam perjalananku menuju kediaman Boni sahabatku, ingatan itu selalu menghampiri dan mengiringi langkahku. Aku tak bisa terpuruk seperti ini selamanya. Wajahnya yang selalu kurindukan menari di kelopak mataku, kenangan yang selalu kita buat hadir bagai pepohonan yang menaungiku.
“Tidaak…!!!, Tuhan tolonglah hambamu”

Setelah sampai di halama rumah Boni. Aku bergegas menuju pintu rumahnya, lama aku tidak berjumpa dengannya. Karena keterpurukan sehingga aku tak pernah lagi mengunjunginya. Kuketuk pintu rumah Boni, berharap ia yang membukakan pintu. Lima menit berdiri menunggu pintu rumah Boni terbuka, dan akhirnya sosok yang begitu ingin kutemui kini ada di hadapanku. Wajah cantik dan manis seperti yang dulu, ramah dan lucu. Kupeluk Boni erat-erat tanpa kuziinkan angin lewat di sela kami. Air mata ini tak dapat terbendung lagi.
“Boni, Aku nggak bisa begini terus, aku tersiksa. Aku ngga bisa hidup tanpa dia di sisiku.”
“Masuklah dulu, kita bicarakan di dalam.”
Kupandangi sekeliling rumah Boni yang lama tak kukunjungi. Mataku terpana pada sebuah album yang tersimpan begitu rapi di lemari ruang tengah. Boni beranjak mengambilkan aku segelas air putih untuk menenangkan fikiranku. Kuangkat, kubuka album ungu yang bertuliskan “lovely” halaman pertama terpampang wajah imut Boni dan senyum riangku di sana. Aku tersenyum, putih abu-abu menghiasi pakaian yang kita kenakan. Kubuka lembar berikutnya, tersentak aku kaget. Wajahnya ada di sana, di antara aku dan Boni serta teman yang lain. Kembali mengalir air mata ini melihat wajah kekasihku yang telah pergi.
“Cha, ngapain kamu?” Boni menegurku.
Kusapu air mata ini, tetapi Boni lebih awal melihat lagi air mataku.
“Cha, ceritakan…? Apa sebenarnya yang terjadi. Mengapa kamu menangis?”
“Hal inilah yang menjadi tujuanku datang kemari Boni, aku tak tahu ke mana harus mengadu, hanya kamu yang mengerti aku, Bon…”
Kudekap foto yang terlukis wajahnya, kubiarkan kepedihan ini mengalir bersama air mataku.
“Ceritakanlah! Apa sebenarnya yang terjadi denganmu” mengapa kamu dekap terus foto itu? Misteri apa yang ada di dalamnya?”

***
Kuawali ceritaku denga sebuah perkataan Fhy kekasihku yang masih sempat kuingat.
“Kau begitu indah, bagai taman yag sesaat lagi akan kutemui. Aku tak ingin ini terjadi, tapi inilah suratan Ilahi.”
Saat ia katakan itu, aku berada di sebuah pantai bersamanya. Kami pergi ke pantai karena keinginanku. Aku pun tak mengerti mengapa jiwaku seakan meronta untuk mengatakan ini pada Fhy. Ia tak ingin melihatku kecewa. Akhirnya kami pun pergi dengan suasana damai menaungi jiwa-jiwa kami.
Angin yang bertiup menyapu bibir pantai. Mengundangku mendekatinya. Kulangkahkan kaki ini perlahan, kutatap wajah langit yang begitu damai kurasakan. Fhy menyusulku dan tegak di sampingku.
“Rasakan dingin yang bertiup ini!” ia memintaku mematuhi kemauannya. Perlahan kurasakan kedamaian yang dibawa angin menuju dermaga. Tapi, kudengar Fhy merintih perlahan.
“Fhy, mengapa? Sakit??”
Jawabannya singkat dan dingin “Tidak!”

***
Tiba-tiba Boni tersedak dan batuk, aku berpikir mengapa mendengar ceritaku ia begitu…
“Boni, kamu mengapa?”
“Oh, tidak lanjutkan dulu biar aku mendengarkannya”.
Petikan gitar yang dimainkan Fhy membuatku semakin damai, kami bernyanyi tanpa sedikit pun tersirat kesedihan di wajah aku dan Fhy. Kupandangi dalam-dalam wajah Fhy, dengan senyuman yang tak pernah terkulum waktu.
Dia begitu bahagia, tak ingin aku melihat  ini hilang dari wajah Fhy. Ya, karena memang dia sosok lelaku yang begitu jarang menampakkan kebahagiaannya. Dia pendiam, namun begitu perhatian. Tanpa disangka hujan turun, menggantikan siang yang begitu cerah. Aku dan Fhy berteduh di sebuah gubug-gubug di pinggir pantai yang sengaja dibuat untuk disewakan. Hujan begitu deras, hingga terpaksa aku dan Fhy menunggu lama di gubug itu. Kulihat pucat wajah Fhy, aku panik.
“Fhy, kamu sakit ya? Mengapa wajahmu pucat???”
“Tidak, hanya dingin saja kok”.
Dia tak pernah mau menceritakan apa yang sebenarnya yang ia rasakan. Aku memberikan sweterku untuk menutup tubuhnya yang menggigil kedinginan. Perlahan ia merebahkan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya di pangkuanku.
“Cha, Kau begitu indah, bagai taman yag sesaat lagi akan kutemui. Aku tak ingin ini terjadi, tapi inilah suratan ilahi.”
“Apa maksudmu?” Aku bingung mengapa dia menyamakan aku dengan taman? Fhy memintaku menyampaikan sebuah lagu yang sangat ia sukai. Aku melihat permohonan di wajah Fhy. Akhirnya aku bernyanyi. Lahu sempurna.
“Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku lengkapi diriku, oh sayangku
Kau begitu..
Sempurna…”
Kulihat Fhy terlelap dalam tidurnya. Aku tak tega untuk membangunkan dirinya dari tidurnya. Keputusan untuk menunggu Fhy bangun sembari menunggu hujan reda. Sepuluh menit berlalu, hujan sudah tak jatuh lagi. Awan kembali tampak, namun tak secerah semula. Perlahan kubangunkan Fhy dari tidurnya namun ia tetap diam dan tidak bergerak. Badannya dingin dan beku. Kupanggil-panggil namanya, kucoba bangunkan dia dengan segenap usahaku namun ia tetap beku.
“Tuhan… inikah akhir dari segalanya? Fhy telah pergi tanpa sebab yang pasti. Fhy, jangan tinggalkan aku, ke mana janjimu untuk kita hidup bersama? Fhy bangun, bangun Fhy…!”…
Aku meronta, aku tak percaya. Mengapa Fhy pergi begitu cepat? Mengapa ia pergi di saat seperti ini? Semua pertanyaan menghukumku.


***
Kudekap Boni, dengan segala kelemahanku. Aku begitu lemah, sudah dua bulan berlalu dari kepergian Fhy, namun aku masih terpuruk di dalamnya.
“Cha, udahlah…”
“Boni, aku tak mengerti mengapa Fhy perg tanpa sebab yang pasti, mengapa dia pergi tiba-tiba?”
“Ada hal yang tidak engkau tahu”.
“Katakan, apa itu Bon??”
“sebelumnya maaf Cha, karena tidak dari awal aku mengatakan ini padamu. Fhy sebenarnya telah lama mengidap penyakit kanker otak.”
“Apa!!! Kau tega Bon, mengapa tidak kauceritakan padaku dari dulu padaku?”
“Sabar Cha, ini permintaan Fhy. Ia tak ingin kautahu tentang keadaannya. Ia tidak ingin kau sedih mendengar ceritanya. Ia tak ingin merusak kebahagiaanmu Cha… ia menitipkan ini padaku. Sebuah cincin yang telah lama ia ingin berikan padamu, tetapi ia ragu. Ia memintaku memberikan ini padamu setelah ia pergi. Karena ia tahu, waktunya tidak akan lama lagi di dunia ini.”
Hatiku hancur kembali. Aku pamit pada Boni, pergi menuju makam Fhy yang selalu kukunjungi. Dengan sebuah cincin yang selalu kugenggam, mengantarkan aku di sebuah pemakaman yang sudah tidak begitu asing. Aku berlutut di batu nisan dengan kepedihan yang sangat berat kurasakan. Air mata ini tak boleh jatuh, “Aku tak mau menampakkan ini di hadapanmu Fhy. Meski engkau telah pergi namun engkau selalu di hatiku.”
Kupakai cincin pemberian Fhy di jari manisku.
“Fhy, nantikan aku di sana. Aku psati akan bersamamu, meski sekarang kita berada di alam yang berbeda.”
Aku beranjak dari makam Fhy dengan sangat berat. Namun aku harus tegar menjalani semua ini. Perjalanan pulang, tak kurasakan apa-apa. Pikiranku terbang bersama kenangan dan bayangan Fhy yang selalu menghantui. Pandanganku berubah, aku memandang dengan samar-samar dengan motor yang kukendarai. Semakin lama aku merasa ada suara yang memanggilku dan,
Braakk…!!! Sebuah mobil menabrak motorku.
Aku tak sadarkan diri, tetapi aku melihat kehadiran Fhy di hadapanku. Dia ulurkan tangan kanannya padaku. Kuterima uluran tangan Fhy dan kugenggam erat.
“Fhy, bawa aku bersamamu.”


Perintis, 26 Juni 2010


LEER M�S...
 
Liliez Punya Blog. Template Design By: SkinCorner