f Liliez Punya Blog: Tangisan Lalu
Selasa, 25 Oktober 2011

Tangisan Lalu


    Kuayunkan langkah kakiku menuju kamar yang bisu. Anganku melayang menerawang setiap sudut kamar yang retak dimakan waktu. Kurebahkan semua pilu di pundakku di atas kasur buatan nenek. Mata ini berkeliaran mencari sandaran tuk sesaat membuang lelah kehidupan.
    Akutelah renta dimakan usia. Aku ingin membalikkan hidupku. Kuingin menari diatas senyum mengembang mamah, yang melihat anaknya bisa melangkah satu demi satu. Kuingin menangis di pundak Ayah bila kuterluka.
Diary ungu dan suara batuk nenek menjadi sahabat setiap waktu. Kuingin bertemu ayah, tenggelam dalam dekapnya hingga tak kusadari air mata berlinang membasahi pipi, jika kupandang potret keutuhan keluarga yang begitu bahagia, namun kini tinggal cerita.
      “Nenek kuingin ayah” Dengan linangan air mata kumerengek di hadapan nenek, namun nenek hanya menggendongku dan memberiku snack jali-jali agar kudiam.
Bertahun-tahun kupendam rasa ini, rindu yang tak bermuara.
Lagi-lagi kurebahkan pilu di pundak ini. Kali ini aku teringat cerita ayah. Kucoba rangkai ingatan menjadi untaian-untaian masa lalu yang buram.
   Di pagi yang basah, ayah keluar rumah dengan semangat menuju tempat mencari nafkah, ditemani ibu yang berparas sederhana keluar dari beranda rumah.
Ketika itu usiaku baru menginjak dua tahun.
Aku belum mengerti apapun yang terjadi padaku dan lingkunganku. Ketika ayah melangkah jauh meninggalkan rumah, ibu masuk menemuiku yang asik bermain dengan bola-bola dan ular-ularan. Tiba-tiba ibu menggendongku dan membawaku pergi dari rumah, ku tak tahu ibu menuju kemana. Hingga sampai di suatu tempat, ibu menurunkanku dan menyerahkanku pada seorang ibu tua dan berparas ayu.
Aku menangis menjerit dan meronta namun ibu berlalu begitu saja meninggalkanku bersama ibu tua itu.
   Ayah tak tahu tindakan ibu yang tak pernah menganggapku ada. Ibu selalu manis dihadapan ayah. Hampir setiap waktu ibu memperlakukanku dengan kasar saat ayah tak  disisiku. Aku tak mengerti dan tak tahu ibu pergi kemana, saat kudititipkan dirumah tetangga.
Durian seakan runtuh di hadapan ibu, pelangi menari di matanya. Ibu bagai kucing yang ditinggal oleh majikan, seenaknya melakukan apa saja tanpa takut ada yang tahu. 
Di suatu sore yang cerah ayah pamit kapada ibu, ayah akan pergi menggalkanku dan ibu untuk beberapa waktu. Ayah mendapat tanggung jawab dan kewajiban dari atasannya di luar kota.
   Ayah berlalu dengan kecupan yang mendarat di keningku, kumeronta memenggil ayah, “ Ayah ikut…..” kataku, karena aku tak mau tinggal bersama ibu. Numun langkah ayah terus melaju.
Sesaat dari kepergiaan ayah, ibu pun beraksi kebali memperlakukanku seperti biasa, membawaku dan menitipkanku di rumah tetangga. 
Setengah jam dari kepergian ayah, ibu telah pergi entah kemana dan meninggalkanku.
Tanpa disangka, ada sesuatu yang lupa ayah bawa dan itu sangat penting tuk tugas ayah, ayah pun kembali pulang dan mengambilnya.
Sesampai di rumah, ayah tak manamukan siapa pun, hanya kebisuan yang ia jumpai. Seusai mambuka pintu dengan duplikat yang ia bawa, ayah mengambil keperluannya.
    “kemana semua orang? Mengapa sunyi?
Karena waktu yang memburunya, ayah berlalu dengan gesitnya menuju beranda rumah dan berjalan menuju kaendaraannya. Namun samara-samar ayah mendengar rontaanku yang terus menghiasi rumah ibu tua itu.
     “Sepertinya kukenal tangisan itu…”
Ayah mencari di mana asal suara rontaan itu. Kuberlari dan kudekap ayah erat-erat tak mau lagi berpisah dengannya. Jiwaku mati saat itu, masa kecilku lari, kutak pernah tersenyaum dengan ikhlasnya. Hari-hariku meronta tanpa ada yang mengasihaniku, ibu  menyia-nyiakanku bagai benalu yang tumbuh diatas senyumnya.
Ayah beranjak dari dekapku, kuterus maronta dengan tersirat makna di dalamnya..
Ayah membisu sesaat, kemudian bertanya kepada ibu tua itu.
     “Apa yang terjadi, Mana istriku?”
Ibu tua itu bimbang dan tetap bungkam. Ia hanya mengatakan bahwa ibu pergi ke pasar tuk membeli sesuatu dan menitipkanku.  
Ayah mengerutkan kening dan berpikir, 
    “Mengapa setega ini istriku meninggalkan anaku, tak seperti biasanya selalu mambawanya jika hendak berbelanja, sepertinya ada yang tidak beres.”
Melihat keadaanku yang semakin terpuruk dan tak pernah henti dari rontaan, ayah memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaannya dan memohon izin kepada atasannya.
Dengan hati yang kecewa ayah melangkah menuju rumah, aku mulai tenang dan berhenti dari rontaanku. Walau usiaku masih belia namun kudapat merasakan kasih sayang ayah yang mengalir di lembar hidupku. 
Ayah adalah malaikat pelindungku. Ayah tak pernah marah padaku. Ia sosok yang tegar dan berhati mulia. 
    Tepat pukul 22.00, ayah belum tertidur juga. Sementara aku pulas dalam belaian ayah dan lelap dalam tidurku.
Ayah berfikir “Mengapa sampai detik ini pun istriku belum juga pulang?” tidak mungkin jika ia pergi berbelanja ke pasar.”
Suara percakapan di halaman rumah membangunkan ayah dari lamunannya. Ia meletakkanku di atas kasur dan beranjak melihat siapa gerangan yang berada di sana.
Betapa terkejutnya ayah melihat ibu bersama lelaki lain yang sama sekali tak dikenalinya.
   Ibu masuk dalam rumah tersentak ia kaget melihat ayah tegak berdiri di depan pintu ruang tengah. Wajah ibu memerah dan gugup, ibu tak sanggup mengeluarkan kata walau hanya menyapa. 
Dengan halusnya ayah bertanya.
    “Siapa lelaki itu?”
    “Bukan siapa-siapa.”
Alunan kata ayah menghiasi goa telinga ibu, ibu bungkam dan tak berkutik. Ayah berfikir dengan sikapnya mungkin akan mengubah kebiasaan ibu yang masih ingin berkeliaran seperti remaja yang baru mengenal cinta. 
   Pagi yang gelap, tak ada cahaya menembus cela-cela ventilasi jendela kamarku. Hari seakan mengerti keadaan keluarga yang berada di ujung tanduk. Entah suka atau pun duka yang seharusnya mengalun dari wajah kecil dan tak tahu apa-apa.   
    Ibu tak kulihat sejak kumembuka mata menyambut pagi yang gelap. Hanya kulihat ayah yang datang mendekapku dengan teka-teki di wajahnya yang tak dapat kutebak
Kutak mengerti apa yang terjadi, aku hanya melihat ayah dengan mata yang sembab mencoba menahan kesedihan di hadapanku. Ayah tak ingin terlihat rapuh di hadapanku.

Praaaaaaaaakkk…!!! Kramik di atas lemariku jatuh, membuatku kaget dan beranjak dari ingatan itu. Sampai saat ini aku tak mengerti apa sebenarnya  yang terjadi pada ayah dan ibu. Mengapa aku tinggal bersama nenek hingga saat ini?
Aku kini telah dewasa, semestinya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Menurut cerita nenek ibu pergi meninggalkan rumah saat ayah dan aku terlelap dalam tidur. Ibu meninggalkan kami tanpa pamit, bersama lelaki yang tak pernah dikenal ayah. Ibu begitu tega melakukan ini pada kami. Semua itu ibu lakukan kepadaku karena aku bukan anak kandungnya.
   “Di mana ibu kandungku?"
   Hari seakan layu melihat ayah  mencoba bernyanyi di atas nestapa yang ibu cipta.
Pandangan ayah goyah menabrak karang kepedihan di hari yang semestinya bermentari. Ayah berlayar di atas laut air mata, dinaungi pohon-pohon duka.
Di pagi yang diiringi rerintikan gerimis, kembali mengalir air mataku berserakan di wajah yang mengharap ini tak pernah terjadi. Alunan do’a mengalir dari rongga suara nenek. Air mata tak sanggup kubendung menetes membahasi batu nisan ayah yang selalu kupeluk di setiap lembaran waktuku.
Akan selalu kualunkan ayat-ayat suci mengiringi langkah ayah dalam setiap sujud malamku.

0 komentar:

Posting Komentar

Tangisan Lalu

| |


    Kuayunkan langkah kakiku menuju kamar yang bisu. Anganku melayang menerawang setiap sudut kamar yang retak dimakan waktu. Kurebahkan semua pilu di pundakku di atas kasur buatan nenek. Mata ini berkeliaran mencari sandaran tuk sesaat membuang lelah kehidupan.
    Akutelah renta dimakan usia. Aku ingin membalikkan hidupku. Kuingin menari diatas senyum mengembang mamah, yang melihat anaknya bisa melangkah satu demi satu. Kuingin menangis di pundak Ayah bila kuterluka.
Diary ungu dan suara batuk nenek menjadi sahabat setiap waktu. Kuingin bertemu ayah, tenggelam dalam dekapnya hingga tak kusadari air mata berlinang membasahi pipi, jika kupandang potret keutuhan keluarga yang begitu bahagia, namun kini tinggal cerita.
      “Nenek kuingin ayah” Dengan linangan air mata kumerengek di hadapan nenek, namun nenek hanya menggendongku dan memberiku snack jali-jali agar kudiam.
Bertahun-tahun kupendam rasa ini, rindu yang tak bermuara.
Lagi-lagi kurebahkan pilu di pundak ini. Kali ini aku teringat cerita ayah. Kucoba rangkai ingatan menjadi untaian-untaian masa lalu yang buram.
   Di pagi yang basah, ayah keluar rumah dengan semangat menuju tempat mencari nafkah, ditemani ibu yang berparas sederhana keluar dari beranda rumah.
Ketika itu usiaku baru menginjak dua tahun.
Aku belum mengerti apapun yang terjadi padaku dan lingkunganku. Ketika ayah melangkah jauh meninggalkan rumah, ibu masuk menemuiku yang asik bermain dengan bola-bola dan ular-ularan. Tiba-tiba ibu menggendongku dan membawaku pergi dari rumah, ku tak tahu ibu menuju kemana. Hingga sampai di suatu tempat, ibu menurunkanku dan menyerahkanku pada seorang ibu tua dan berparas ayu.
Aku menangis menjerit dan meronta namun ibu berlalu begitu saja meninggalkanku bersama ibu tua itu.
   Ayah tak tahu tindakan ibu yang tak pernah menganggapku ada. Ibu selalu manis dihadapan ayah. Hampir setiap waktu ibu memperlakukanku dengan kasar saat ayah tak  disisiku. Aku tak mengerti dan tak tahu ibu pergi kemana, saat kudititipkan dirumah tetangga.
Durian seakan runtuh di hadapan ibu, pelangi menari di matanya. Ibu bagai kucing yang ditinggal oleh majikan, seenaknya melakukan apa saja tanpa takut ada yang tahu. 
Di suatu sore yang cerah ayah pamit kapada ibu, ayah akan pergi menggalkanku dan ibu untuk beberapa waktu. Ayah mendapat tanggung jawab dan kewajiban dari atasannya di luar kota.
   Ayah berlalu dengan kecupan yang mendarat di keningku, kumeronta memenggil ayah, “ Ayah ikut…..” kataku, karena aku tak mau tinggal bersama ibu. Numun langkah ayah terus melaju.
Sesaat dari kepergiaan ayah, ibu pun beraksi kebali memperlakukanku seperti biasa, membawaku dan menitipkanku di rumah tetangga. 
Setengah jam dari kepergian ayah, ibu telah pergi entah kemana dan meninggalkanku.
Tanpa disangka, ada sesuatu yang lupa ayah bawa dan itu sangat penting tuk tugas ayah, ayah pun kembali pulang dan mengambilnya.
Sesampai di rumah, ayah tak manamukan siapa pun, hanya kebisuan yang ia jumpai. Seusai mambuka pintu dengan duplikat yang ia bawa, ayah mengambil keperluannya.
    “kemana semua orang? Mengapa sunyi?
Karena waktu yang memburunya, ayah berlalu dengan gesitnya menuju beranda rumah dan berjalan menuju kaendaraannya. Namun samara-samar ayah mendengar rontaanku yang terus menghiasi rumah ibu tua itu.
     “Sepertinya kukenal tangisan itu…”
Ayah mencari di mana asal suara rontaan itu. Kuberlari dan kudekap ayah erat-erat tak mau lagi berpisah dengannya. Jiwaku mati saat itu, masa kecilku lari, kutak pernah tersenyaum dengan ikhlasnya. Hari-hariku meronta tanpa ada yang mengasihaniku, ibu  menyia-nyiakanku bagai benalu yang tumbuh diatas senyumnya.
Ayah beranjak dari dekapku, kuterus maronta dengan tersirat makna di dalamnya..
Ayah membisu sesaat, kemudian bertanya kepada ibu tua itu.
     “Apa yang terjadi, Mana istriku?”
Ibu tua itu bimbang dan tetap bungkam. Ia hanya mengatakan bahwa ibu pergi ke pasar tuk membeli sesuatu dan menitipkanku.  
Ayah mengerutkan kening dan berpikir, 
    “Mengapa setega ini istriku meninggalkan anaku, tak seperti biasanya selalu mambawanya jika hendak berbelanja, sepertinya ada yang tidak beres.”
Melihat keadaanku yang semakin terpuruk dan tak pernah henti dari rontaan, ayah memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaannya dan memohon izin kepada atasannya.
Dengan hati yang kecewa ayah melangkah menuju rumah, aku mulai tenang dan berhenti dari rontaanku. Walau usiaku masih belia namun kudapat merasakan kasih sayang ayah yang mengalir di lembar hidupku. 
Ayah adalah malaikat pelindungku. Ayah tak pernah marah padaku. Ia sosok yang tegar dan berhati mulia. 
    Tepat pukul 22.00, ayah belum tertidur juga. Sementara aku pulas dalam belaian ayah dan lelap dalam tidurku.
Ayah berfikir “Mengapa sampai detik ini pun istriku belum juga pulang?” tidak mungkin jika ia pergi berbelanja ke pasar.”
Suara percakapan di halaman rumah membangunkan ayah dari lamunannya. Ia meletakkanku di atas kasur dan beranjak melihat siapa gerangan yang berada di sana.
Betapa terkejutnya ayah melihat ibu bersama lelaki lain yang sama sekali tak dikenalinya.
   Ibu masuk dalam rumah tersentak ia kaget melihat ayah tegak berdiri di depan pintu ruang tengah. Wajah ibu memerah dan gugup, ibu tak sanggup mengeluarkan kata walau hanya menyapa. 
Dengan halusnya ayah bertanya.
    “Siapa lelaki itu?”
    “Bukan siapa-siapa.”
Alunan kata ayah menghiasi goa telinga ibu, ibu bungkam dan tak berkutik. Ayah berfikir dengan sikapnya mungkin akan mengubah kebiasaan ibu yang masih ingin berkeliaran seperti remaja yang baru mengenal cinta. 
   Pagi yang gelap, tak ada cahaya menembus cela-cela ventilasi jendela kamarku. Hari seakan mengerti keadaan keluarga yang berada di ujung tanduk. Entah suka atau pun duka yang seharusnya mengalun dari wajah kecil dan tak tahu apa-apa.   
    Ibu tak kulihat sejak kumembuka mata menyambut pagi yang gelap. Hanya kulihat ayah yang datang mendekapku dengan teka-teki di wajahnya yang tak dapat kutebak
Kutak mengerti apa yang terjadi, aku hanya melihat ayah dengan mata yang sembab mencoba menahan kesedihan di hadapanku. Ayah tak ingin terlihat rapuh di hadapanku.

Praaaaaaaaakkk…!!! Kramik di atas lemariku jatuh, membuatku kaget dan beranjak dari ingatan itu. Sampai saat ini aku tak mengerti apa sebenarnya  yang terjadi pada ayah dan ibu. Mengapa aku tinggal bersama nenek hingga saat ini?
Aku kini telah dewasa, semestinya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Menurut cerita nenek ibu pergi meninggalkan rumah saat ayah dan aku terlelap dalam tidur. Ibu meninggalkan kami tanpa pamit, bersama lelaki yang tak pernah dikenal ayah. Ibu begitu tega melakukan ini pada kami. Semua itu ibu lakukan kepadaku karena aku bukan anak kandungnya.
   “Di mana ibu kandungku?"
   Hari seakan layu melihat ayah  mencoba bernyanyi di atas nestapa yang ibu cipta.
Pandangan ayah goyah menabrak karang kepedihan di hari yang semestinya bermentari. Ayah berlayar di atas laut air mata, dinaungi pohon-pohon duka.
Di pagi yang diiringi rerintikan gerimis, kembali mengalir air mataku berserakan di wajah yang mengharap ini tak pernah terjadi. Alunan do’a mengalir dari rongga suara nenek. Air mata tak sanggup kubendung menetes membahasi batu nisan ayah yang selalu kupeluk di setiap lembaran waktuku.
Akan selalu kualunkan ayat-ayat suci mengiringi langkah ayah dalam setiap sujud malamku.

0 komentar:

Posting Komentar

.

 
Liliez Punya Blog. Template Design By: SkinCorner